Qasidah Burdah
Salah satu dari kecerdasan majemuk menurut (Gardner, 1999b) yaitu
kecerdasan musikal, yakni kemampuan menangani bentuk-bentuk musikal,
dengan cara mempersepsi dan mengapresiasi (misalnya, sebagai penikmat
musik), membedakan (misalnya, sebagai kritikus musik), menggubah
(misalnya, sebagai komposer), dan mengekspresikan (misalnya, sebagai
penyanyi). Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada irama, pola titinada
atau melodi dan warna nada atau warna suara suatu lagu.
Inti dari kecerdasan musikal adalah pusat pendengaran (hearing) yakni
telinga, sebab dari telingalah setiap bunyi-bunyian direspons dengan
baik lalu masuk ke otak, dan dari sana akan menyalurkannya ke seluruh
jaringan saraf, sehingga kecerdasan musikal akan bangkit dan
membangunkan setiap energi yang terdapat dalam diri seseorang. Efek
positif akan dirasakan saat semua jaringan saraf teraliri gerak musikal
melalui suara, atau bunyi-bunyian tersebut. Dalam diri manusia ada yang
dinamakan auditory area, yakni pusat pendengaran tempat bermuaranya
getaran-getaran saraf yang datang dari dua telinga (Alfarisi, 2005:
349). Jadi, pendengaran (hearing) adalah stimulus utama dalam kecerdasan
musikal seseorang. Dengan alat pendengaran inilah seseorang mampu
merespons setiap suara musikal yang dapat membina kepribadian seseorang.
Dengan kata lain, proses impulsif melalui telinga akan membuat kesan
‘terngiang-ngiang’. Dari sanalah sebuah proses pembentukan kepribadian
lewat getaran musikalitas yang diserap oleh si pendengar tadi.
Teori Place dalam Djohan (2005: 102) tentang persepsi pitch (pola
titinada) melalui beberapa bukti fisiologis menunjukkan tempat
terjadinya stimulasi di bagian dalam telinga. Ekstraksi dari pitch yang
terpisah tidak ditunjukkan melalui penyortiran frekuensi yang berbeda
pada tempat yang berbeda di dalam cochlea, yakni tempat lain dalam
system saraf. Gelombang suara dengan kecepatan yang bervariasi dalam
tekanan udara, mendorong gendang telinga ke luar dan ke dalam. Vibrasi
dari gendang telinga ditransmisikan ke telinga bagian dalam oleh
beberapa pengungkit yang terbuat dari tulang, yaitu ossicle dari bagian
tengah telinga.
Cochlea adalah semacam pedar spiral yang dipenuhi oleh kelenjar getah
dan terbagi oleh membran basiliar yang terstruktur. Ini merupakan
cochlea di mana gelombang suara dikonversikan ke dalam impuls-impuls
saraf. Sekali berada di dalam cochlea, gelombang suara berjalan
sepanjang partisi yang terpisah sampai ke bagian tengah telinga.
Gelombang suara berjalan dari jendela oval menuju membran basiliar ke
helicotrema di mana gelombang suara itu diserap. Setelah berjalan ke
bawah, gelombang suara menggetarkan membran basiliar tempat serabut
sensistif yang distimulasi oleh vibrasi tersebut. Pola bangkitnya
sel-sel rambut akan diterjemahkan dengan bangkitnya saraf-saraf sebagai
bentuk dasar dari sensasi manusia terhadap suara.
Menurut analisa Fourier (1992) dalam Djohan (2005: 42) gelombang suara
yang masuk serta memisahkan komponen gelombang sinus ke tempat stimulasi
yang berbeda pada membran basiliar, tergantung frekuensinya, membran
tersebut terdiri dari serangkaian serabut yang berfungsi seperti
serangkaian senar pada piano. Serabut yang panjang dekat
helicotrema meresonansi nada rendah dan serabut yang lebih pendek meresonansi nada-nada tinggi.
Vibrasi pada membran basiliar dekat dengan apa yang disebut kelembaban
kritis. Berarti, vibrasi akan semakin keras setelah stimulasi berhenti.
Tetapi kelembaban ini menimbulkan masalah bagi mekanisme persepsi pitch.
Seperti halnya analogi pada pegas-massa sesuai analogi fisika.
Dengan demikian, sebagaimana yang dikemukakan Carrel (1997:125) “manusia
adalah makhluk misterius”. Dengan segala ‘kemisteriusan’ nya ia
memiliki berbagai kecerdasan diantaranya adalah kecerdasan musik. Hal
tersebut sangat penting untuk dikaji dan diteliti.
Menurut Blacking (1995: 224) dalam Djohan (2005: 26) musik dianggap
sebagai perilaku manusia, juga perilaku social yang kompleks dan
universal. Setiap masyarakat memiliki apa yang disebut dengan musik, dan
setiap anggota masyarakatnya adalah musikal. Seandainya benar, dalam
budaya Barat terdapat perbedaan tajam antar siapa yang “memproduksi”
musik dan siapa yang secara mayoritas “mengkonsumsi”-nya. Tetapi
kenyataannya hampir semua golongan mayoritas dapat “mengkonsumsi” musik,
mendengar, menarikan dan mengembangkannya. Sehingga ada kesan bahkan
mayoritas diam pun adalah masyarakat yang musikal dalam kapasistas
memahami musik.
Goleman & Gurin berpendapat dalam (Djohan, 2006 : 43) bahwa: serabut
saraf dalam setiap tubuh manusia berisi sistem immun, yang menyediakan
komunikasi biologis antara
saraf ujung terakhir dengan sistem immun. Juga disebutkan terdapat
hubungan antara pikiran seseorang dan sikap, persepsi, emosi, dan
kesehatan sistem immun tersebut. Sehingga kita memiliki kemampuan
menjadi proaktif terhadap kesehatan tubuh dan pikiran. Musik adalah
pulsa dari energi sebagai rangkaian lalu-lalang segala sesuatu melalui
vibrasi.
Dengan adanya kekuatan musik yang halus ini, penulis mencoba mengkaji
untuk diterapkan kepada orang lain, yaitu sebuah terapi musikal bagi
pikiran dan batin. Di samping musik-musik yang berkembang saat ini,
musik sufistik ini bias menjadi media penyeimbang di tengah disonansi
musik yang bersifat entertainment..
Qasidah Burdah, dipandang sebuah studi tentang pendidikan nilai-nilai
keagamaan yang terangkum dalam bentuk syair (puisi) Arab dan dilagukan
dengan irama musikalitas melankolik-sikronik. Pendekatan ini adalah
salah satu dari pendidikan dan pembinaan kepribadian religi terhadap
klien, agar lebih cepat memahami serta mempraktekkan apa yang terkandung
dari muatan pesan-pesan keagamaan di dalamnya, sehingga klien merasa
tergugah secara terarah (gerechtigkeit) terutama dalam hal perubahan
jiwanya, terlebih dalam mengapresiasi jiwa seninya.
Strategi berikutnya dalam melaksanakan pendidikan nilai melalui Qasidah
Burdah sebagai pembinaan mental kepribadian religi melalui musik. Ini
merupakan upaya penanaman pendidikan mentalitas dalam rangka memberikan
pemahaman sikap keberagamaan dan perkembangan serta pertumbuhan
seseorang. Selain bersifat pencegahan dari sifat-sifat buruk. Qasidah
Burdah dapat pula bersifat penyembuhan. Teknik penyembuhan jiwa yang
sedang galau, resah dan depresi, penulis mencoba mempraktekkan
musikalitas syair-syair keagamaan dari kitab Islam klasik bernama
Qashidah al-Burdah (Qasidah Burdah) karya Imam al-Bushiry.
Orientasi pergelaran musik secara umum seringkali dilaksanakan secara
bebas nilai (values free) yaitu pergelaran musik yang cenderung
menampilkan hal-hal yang bersifat hiburan semata-mata (entertainment)
atau, lebih tepatnya lagi, cenderung pada pergelaran musik hura-hura
(pell-mell music).
Pergelaran demikian terkadang menelan korban hingga pada kematian.
Sebagai contoh sebagaimana baru-baru ini dilansir oleh Harian Umum
Pikiran Rakyat, dan Tribun Jabar 10 Februari 2008, sedikitnya 11 orang
tewas dan empat lainnya luka-luka dalam konser dan peluncuran album
kelompok beraliran metal-core Beside band di Gedung Asia Africa
Cultural Centre (AACC), Jln. Braga Kota Bandung, Sabtu (9/2) malam.
Fenomena di atas menggambarkan betapa kacaunya suasana pergelaran
musik-musik penghibur tersebut, mulai dari persiapan panitia yang kurang
bertanggungjawab, terkesan asal-asalan, kurang profesional, tidak
memperhitungkan kondisi kapasitas tempat, keamanan dan kenyamanan bagi
para penonton, di samping ulah serta sikap para penonton sendiri tidak
bisa tertib atau disiplin bahkan cenderung anarkis dan berlebihan.
Menurut berita, kejadian konser musik metal-core (underground music),
setiap penonton yang masuk diberi semacam minuman keras memabukkan
sebagai syarat menikmati konser musik “underground” tersebut.
Tragedi semacam itu sangat sering terjadi di dunia pergelaran/konser
musik Indonesia. Persoalannya sekarang adalah sejauhmana insan-insan
terkait bisa mempertanggung jawabkan peristiwa yang mencoreng dunia
musik bangsa ini. Oleh karena itu sebagai langkah penyeimbang (balance)
bahwa internalisasi nilai-nilai sufistik melalui Qasidah Burdah
dipandang perlu untuk dikenalkan ke dalam wilayah pola pembinaan
kepribadian religi.
Menurut analisa penulis karya-karya baru bagi para musisi Barat adalah
sebuah kemestian, siapa yang mampu bekerja keras dan dinamis bila
orientasinya memasuki alur bisnis musik, maka akan dapat menghasilkan
karya-karya orisinal dan monumental sekaligus juga finansial.
Akan tetapi, profil musisi bagi para sufi sama sekali tidak ada
orientasi bisnis karena perbedaan tujuan. Tipe pertama, lebih
mengandalkan produk (industri) musik daripada proses bagaimana memainkan
musik sebagai sebuah jalan, media atau washilah untuk membina nilai
kepribadian religi, mapan dan militan. Sedangkan, untuk tipe kedua,
ingin
menjelaskan kepada segenap manusia bahwa musik bukan hanya sekedar media
hiburan semata, namun, lebih luas dari itu dapat menjadi pembentuk
perilaku positif. Sebagai perbandingan, tipe pertama hanya mampu
melahirkan entertainment music atau musik hiburan, tipe kedua melahirkan
therapy music yaitu musik terapi.
Dilihat dari konsepsi yang berbeda tersebut, maka keberadaan musisi di
tengah msayarakat global saat ini, bisa saja menjadi produsen bisnis
musik yang berhasil mengangkat blantika musik di tanah air, apapun jenis
atau aliran musik tersebut, yang penting tujuan bisnisnya laris di
pasaran. Sementara untuk musik terapi, dan religi bisa tetap eksis dalam
upaya penyembuhan masyarakat yang sedang galau akibat keberadaan
situasi di Tanah Air yang kian tak menentu ini.
Dari sudut pandang manfaat seni musik, pertama kali menurut psikologi
seni memiliki arti luas, yaitu menunjukkan setiap cara yang sesuai untuk
mengekspresikan diri, berupa tindakan atau sikap yang menyampaikan pada
taraf kelengkapan dan kejernihan tertentu dari balik mental, ide dan
emosi. Seni membantu mengidentifikasi “siapa kita” dan “apa potensi
kita”. Menurut Nancy King dalam Djohan (2005:141) manfaat seni adalah
sebagai alat untuk mewujudkan perasaan-perasaan dan memberikan pelayanan
tanpa khawatir memikirkan aturan-aturannya. Seseorang yang memperoleh
kesempatan dan rangsangan dari salah satu cabang kesenian, memiliki
kesempatan untuk mengembangkan dan menikmati kehidupan di hari tuanya.
Manfaat lain dari mempelajari seni adalah membantu pembentukan
komunikasi verbal dan nonverbal sehingga dapat mencapai usaha belajar
yang optimal, karena seni memberikan kesempatan untuk berekspresi tanpa
kata-kata saat tidak dapat diungkapan secara verbal. Selain bermanfaat
dalam pengungkapan perasaan, ia juga menjadi kreator untuk mewujudkan
diri secara keseluruhan (self actualization) sebagai salah satu
kebutuhan pokok hidup manusia dalam teori kebutuhan Maslow.
Musik sendiri memiliki dimensi kreatif (al-janib al-ibtikary) dan
memiliki bagian yang identik dengan proses belajar secara umum. Sebagai
contoh, dalam musik terdapat analogi melalui persepsi, visual, auditori,
antisipasi, pemikiran induktif-deduktif, memori, konsentrasi dan
logika. Dalam musik juga dapat dibedakan serta dipelajari cepat-lambat,
rendah-tinggi, keras-lembut yang berguna untuk melatih kepekaan stimuli
lingkungan.
Selain itu juga manfaat musik berpengaruh sebagai alat untuk
meningkatkan dan membantu perkembangan kemampuan pribadi dan sosial.
Menurut Djohan (2005:142) perkembangan pribadi meliputi aspek kemampuan
kognitif, penalaran, inteligensi, kerativitas, membaca, bahasa, sosial,
perilaku dan interaksi sosial.
Keterampilan kognisi dapat ditingkatkan melalui kegiatan kreatif dan
permainan musik ikut membantu pengembangan pengalaman kreatif tersebut.
Aktivitas musik justru banyak melibatkan kegiatan yang mendorong
terjadinya penciptaan-penciptaan.
Di negara-negara maju, musik telah dimanfaatkan untuk kepentingan umum
dan bukan hanya pada kepentingan musik. Bank, dokter gigi, agen
asuransi, rumah sakit, dan tempat-tempat yang berhubungan dengan orang
banyak telah memanfaatkan musik untuk kepentingan tertentu. Wajar kalau
negara tertinggal seperti Indonesia belum mampu untuk melihat prospek
musik dari aspek manfaat. Musik masih difungsikan untuk sekedar hiburan,
hura-hura, dan hal itu sudah menjadi tradisi kuno, kalau boleh
dikatakan primitif. Tetapi bila sampai sekarang hanya sebatas itu
pemanfaatannya berarti musik menjadi sangat sempit dan ini tercermin
dari orang-orang yang menggelutinya.
Di Indonesia tradisi konser musik sufistik (al-sama’) masih terbilang
langka, namun konser-konser musik yang lebih berorientasi kepada
nilai-nilai hiburan yang bersifat materialistik lebih nampak di tengah
glamournya industri musik tanah air. Pergelaran atau konser musik yang
mengedepankan nilai perubahan karakter bangsa sudah saatnya digelar,
sebagai langkah penyeimbang dari kondisi masyarakat hedonis
materialistis mengarah kepada masyarakat yang tetap mempertahankan
nilai-nilai religiusitas dan peradaban yang tinggi dari bangsa ini.
Tujuan filosofis dari fenomena tersebut di atas dikhawatirkan merusak
tatanan nilai-nilai moralitas generasi muda sekarang ini membuat
keresahan, dan melalui penelitian ini penulis berupaya menjadikan
Qasidah Burdah sebagai media untuk menginternalisasikan pembinaan
nilai-nilai sufistik, sangatlah mendesak untuk dikaji sebagai sebuah
musik alternative sufistik yang mampu memotivasi perilaku seseorang.
Dengan demikian, pergelaran dalam dunia musik sufistik (al-sama’) secara
filosofis adalah bertujuan mempraktikkan dan membangkitkan semangat
(ghirah) kecintaan kepada Sang Pencipta Tuhan Semesta Alam. Pergelaran
yang bersifat konser musik adalah salah satu sarana peneguhan keberadaan
manusia, tawajud, sehingga mampu menyentuh perasaan yang dalam bukan
sebaliknya menjadi hampa tak bermakna.
Qasidah Burdah, adalah model perpaduan musikalitas syair-syair yang
terkandung sarat dengan nilai-nilai moral sufistik, membangkitkan gairah
dan semangat juang batiniah seseorang, melalui paduan musikalitas
syi’ir tersebut disentuh oleh instrumen yang menggambarkan perpaduan
musikalitas soft blues country dengan alunan harmonika dan petikan dawai
gitar serta sayup suara accordion yang menampilan ilustrasi esoteris
diakronik menambah ghirah religiusitas insani.
Tahapan aransemen musikalisasi Qasidah Burdah dilakukan dengan cara
kontemplasi bertahap mulai dari tingkat paling sederhana atau dasar
(ibtida) sampai tingkat tinggi (ulya), sehingga diharapkan dalam proses
internalisasinya mampu membangkitkan inherenitas (kelekatan) antara
akal-fikiran, gerak hati dan nilai-nilai yang terkandung dalam musik
tersebut.
Penelitian ini difokuskan untuk merumuskan pola pembinaan serta
pendidikan nilai sufistik secara utuh dan operasional-praksis. Lalu akan
dikaji dan diungkap secara sistematis sesuai dengan nilai-nilai
pendidikan Islam melalui syair yang terdapat dalam kumpulan syair
Qasidah al-Burdah, yang memiliki kandungan keindahan musikal, baik yang
bersumber pada kebenaran (positif) maupun pada keburukan (negatif). Dari
rumusan konsep tersebut selanjutnya dikaji secara teoretis
inherenitasnya dengan wilayah pendidikan.
Maka dari sanalah akan dijelaskan pengembangan konsep pendidikan
nilai-nilai dan gambaran ideal musik sufistik. Kemudian
kejelasan-kejelasan operasional juga perlu diiringi dengan keterukuran
proses edukasi. Pada proses ini akan memunculkan sejumlah komponen
edukasi yang menyangkut landasan filosofis, materi, metode evaluasi,
sarana dan prasarana serta daya dukung lingkungan. Sehingga penerapan
pendidikan nilai melalui internalisasi Qasidah Burdah dapat memberikan
pencerahan dan perubahan semangat keberagamaan di satu sisi, serta
memberikan pengaruh positif pada sikap, perilaku dan kepribadian setiap
manusia. Keberhasilan penerapan secara praksis pengembangan model
pembinaan nilai kepribadian ini tergantung pada kesadaran (awareness)
memaknai musik sufistik sebagai media pembinaan mental yang satu saat
mampu membangun kepribadian religi.
Mengenai istilah musik memiliki pengertian yang beragam sejak zaman
Yunani Kuno hingga kini. Skyjes (1978) mendefinisikan musik dalam
Rachmawati (2005: 27) sebagai “art combining sound of voice (s) or
instrument (s) to achieve beauty of form and expression of emotion…”.
Ada yang mendefinisikan musik sebagai organisasi bunyi dan diam dalam
satuan waktu, intensitas dan tekstur tertentu. Lepas dari berbagai
definisi tersebut, secara faktual-praksis dapat dengan mudah menganal
musik dalam derajat keindahan yang bervariasi tergantung pada penilaian
dan penilai yang berbeda. Kepentingan penelitian di sini bukan
untuk mencari definisi musik yang beragam, tetpai memahami pengaruh
musik sufistik terhadap manusia untuk kemudian melihat peranan musik
dalam peningkatan kualitas kepribadian dan hidup manusia.
Untuk itu, pemahaman tentang unsur-unsur internalisasi musik lebih
diperlukan daripada pengertian seragam dari musik. Merujuk pada Mitchell
dan Logan (2003), secara umum, unsur-unsur musik terdiri dari dinamika
harmoni, alat musik, meter, melodi, ritme, tempo dan timbre (warna
suara). Dinamika adalah istilah untuk tingkatan keras lembutnya suara
dalam musik. Harmoni merujuk pada dua pengertian (1) keselarasan nada
dalam pembuatan akor (chord); dan (2) sistem keselarasan nada dalam akor
yang mengatur alur akor dan bagaimana satu akor mengikuti akor yang
lain. Alat musik atau instrument merupakan penentu warna dari musik atau
instrument merupakan penentu warna musik yang dikelompokkan menjadi
alat musik bersenar (digesek maupun dipetik), alat musik tiup kayu dan
logam, serta alat musik perkusif. Meter adalah hasil dari efek periodik
atau pengulangan getaran yang biasa disebut beat dalam musik. Melodi
adalah serangkaian nada yang saling mengikuti satu sama lain yang diatur
oleh satu prinsip dasar tertentu, membentuk satu ide abstrak yang dapat
diingat. Ritme adalah penyusunan perangkaian panjang pendeknya nada
yang jatuh tepat pada beat atau di antara beat yang dibentuk oleh meter.
Tempo adalah kecepatan beat dalam musik yang diukur dari jumlah beat
per menit. Terakhir, timbre adalah profil harmoni atau kualitas dari
suatu sumber suara yang biasanya mempengaruhi mood dalam musik
(Rachmawati, 2005: xxvi-xxvii).
Saat ini kita semakin merasakan perlunya pendidikan budi pekerti
(perilaku yang baik) mendapatkan porsi yang lebih besar dalam sistem
persekolahan. Hal ini terjadi di antaranya, disebabkan oleh fenomena
‘krisis moral’ yang semakin mencuat ke permukaan, merambah ke segenap
lapisan masyarakat dari tingkat pejabat hingga rakyat.
Hal inilah yang menarik bagi peneliti sehingga permasalahan ini
berkeinginan diangkat menjadi tema pembahasan, pendalaman yang nanti
mengarah pada penelitian ilmiah sebagai media pembinaan nilai
kepribadian religi, budi pekerti dan nilai jiwa kemanusiaan, sehingga
suatu saat menjadi metode pendidikan dalam membentuk pola kepribadian
dan nilai diri seseorang.
Dengan demikian, media pendidikan nilai sufistik melalui Qasidah Burdah
dapat menduduki porsi utama dalam kehidupan masyarakat pembelajar, tidak
hanya sebagai pembelajaran seni semata, namun diharapkan ia dapat
menjadi salah satu media dan sumber yang dapat dioptimalkan sehingga
menampakkan keutuhan nilai seni yang inheren pada jiwa masyarakat didik
pada umumnya dan mampu membina budi pekerti manusia Indonesia.
Dengan demikian, bagaimana upaya mengatasi persoalan perilaku masyarakat
saat ini, sehingga diperlukan suatu penelitian jenis musik yang dapat
mencerahkan perilaku dan karakter. Qasidah Burdah salah satu langkah
alternatif ke arah tersebut, dengan cara internalisasi nilai-nilai
sufistik melalui Qasidah Burdah diharapkan mampu membina kepribadian
religi. Adapun jenis musik yang dipandang inheren mampu membina
kepribadian adalah musik yang memiliki sentuhan batin, mendamaikan dan
membangkitkan motivasi si pendengarnya, dalam khazanah musik Islam
disebut al-sama’ (konser musik sufistik).