Minggu, 30 Desember 2012

Pengertian Qasidah



Pengertian Qasidah

Pengertian qasidah yang terdapat dalam khazanah kesusasteraan Indonesia mirip dengan kasidah yang ada dalam sastra Arab. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dikatakan bahwa kasidah merupakan “bentuk puisi, berasal dari kesusateraan Arab, bersifat pujian (satire, keagamaan), biasanya dinyanyikan (dilagukan)” (Tim Penyusun Kamus, 1988:493). Meskipun demikian, istilah tersebut berbeda dengan istilah yang sama yang terdapat dalam ungkapan “lagu kasidah” yang umumnya berbahasa Indonesia.
Istilah kasidah menurut Ma’luf dan Cowan dalam Syihabuddin (1997:16) berasal dari kata qasada yang salah satu bentuk infinitifnya ialah qasid atau qasidah dan berarti ‘dimaksudkan’, ‘disengaja’, dan ‘ditujukan kepada sesuatu’. Al-Hasyimi (t.t) dalam Syihabuddin (1997:16) mengungkapkan bahwa qasidah ialah syair yang larik-larik baitnya sempurna. Sebuah sya’ir disebut kasidah karena kesempurnaannya dan kesahihan wazannya, karena pengungkapnya menjadikannya sebagia hiburan, menghiasinya dengan kata-kata yang baik dan terpilih; karena kasidah itu diungkapkan dari hatinya dan perasaannya, bukan dari penalarannya semata.
Sementara itu Nicholson (1962:76-77) menegaskan bahwa pengertian kasidah itu berpusat pada masalah bentuk struktur, persajakan akhir, dan jumlah baitnya. Yang mirip dengan Nicholson di atas ialah pendapat Houtsma (1927:952) yang mengatakan bahwa kasidah merupakan sebuah istilah yang menunjukkan suatu jenis sya’ir yang sangat panjang. Kata kasidah itu sendiri menunjukkan kepada fungsinya, yaitu ditujukkan untuk memuji (“madaha”) kabilahnya atau seseorang, sehingga si penyair beroleh suatu hadiah, atau dimaksudkan untuk mencela suatu kabilah atau seseorang yang dibencinya.
Selanjutnya Houtsma dalam Syihabuddin (1997:17) menegaskan bahwa sebuah kasidah memiliki struktur penceritaan tertentu. Yaitu ia diawali dengan unsur “nasib” atau “gazal” (kerinduan kepada kekasih, kampung halaman, atau berupa percintaan). Setelah itu dilanjutkan kepada unsur kedua berupa gambaran petualangannya dan perjalanannya tatkala pergi menuju kekasihnya dan kampung halamannya. Pada bagian inilah biasanya si penyair menggambarkan kehebatan kudanya, untanya, keganasan padang pasir, dan keberaniannya dalam menghadang bintang buas. Kemudian unsur kedua ini diikuti unsur ketiga berupa inti kasidahnya, yaitu memuji atau mencela seseorang atau suatu kabilah. Kemudian kasidahnya ditutup dengan ajaran-ajaran moral.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, kasidah tidak lagi memegang seluruh konvensi di atas. Di antara konvensi yang ditinggalkannya ialah struktur penceritaan kasidah. Dan sebagian penyair pun menggunakan konvensi secara lebih longgar. Hal ini terjadi pada perkembangan syair periode modern.
Dengan demikian, dapatlah ditegaskan bahwa kasidah sebelum periode modern merupakan syair panjang yang terikat oleh konvensi ‘arudl, bersifat madah (ode) atau hija’ (satire), dan memiliki struktur penceriataan yang terdiri atas tiga unsur sehingga menjadikannya panjang. Dewasa ini konvensi tersebut tidak lagi dipegang seketat pada periode sebelum modern.

Menurut Djohan (2006:43-44), kedekatan suara dengan keseharian manusia kemudian membuka peluang untuk melihat suara dari berbagai sudut pandang yang lain. Dari kacamata psikologi misalnya, pemahaman seseorang mengenai suara sangat tergantung pada bagaimana persepsi orang tersebut terhadap apa yang ia dengar. Persepsi ini dipengaruhi pengalaman musikal dan pengalaman sosial budaya. Sebagai contoh seorang tentara akan terbiasa dengan letusan senjata karena merupakan bagian dari latihan sehari-hari, namun bagi masyarakat awam, bunyi letusan senjata dapat dengan segera memicu ketakutan akan terjadinya suatu hal yang buruk. Pemahaman terhadap suara dan musik juga sangat dipengaruhi faktor budaya. Masyarakat Barat akan segera mempersepsikan nada-nada gamelan yang pentatonik sebagai “musik Timur” dan sebaliknya seorang pengrawit yang mendengar repertoar musik klasik akan segera menganalogikannya dengan “musik Barat”. Selain itu, setiap budaya pada umumnya juga memiliki jenis musik yang khas. Pemahaman tentang aspek psikobiologis suara berawal dengan pengertian bahwa perubahan getaran udara sebenarnya adalah musik. Jauh sebelum pembentukan ontogenetik dan filogenetik suara musik, fenomena akustik yang ditemukan sudah merupakan nilai-nilai terapi musik. Fenomena akustik ini membuat orang dapat menghargai dan menentukan kembali suara eksternal serta menerjemahkan suara tersebut ke dalam bahasa musik. Akustik, suara, vibrasi, dan fenomena motorik sudah sejak ovum dibuahi oleh sperma untuk membentuk manusia baru. Pada saat itu terdapat berbagai proses yang melingkupi telur dalam kandungan, berproduksi dengan gerakan dinamis, mempunyai vibrasi, dan memiliki suara tersendiri. Misalnya, bunyi yang dihasilkan oleh dinding rahim, urat nadi, aliran darah yang mengalir bisikan suara ibu, suara dan desah nafas, mekanisme gerakan dan gesekan tubuh bagian dalam, gerakan otot, proses kimiawi dan enzim, serta banyak lainnya. Semua ini dapat dikelompokkan sebagai sebuah kesempurnaan suara.
Montello ((2004:41) menghubungkan jenis musik dengan aspek kecerdasan musik manusia, pertama, adalah musik badan, menurut ilmu pengetahuan dan falsafah yoga, terdapat lima tingkat fungsional yang membentang di seluruh spektrum kesadaran manusia. Dari yang paling kasar sampai yang paling halus, kesadaran itu meliputi tingkat badan fisik, badan energi/napas, pikiran, intuisi/intelek, dan kebahagiaan. Selanjutnya jenis musik energi, dimana mempengaruhi kekuatan untuk hidup. Menurut Gurdjieff dalam Montello (2004:73); Waktu adalah napas, Dunia napas/energi menyediakan hubungan antara material badan yang lebih padat dan dunia pikiran yang lebih halus. Menurut Hazrat Inayat Khan (1983:201), seorang ahli sufi, napas adalah hasil dari arus [yang] mengalir tidak hanya lewat badan, tetapi juga lewat semua bidang keberadaan manusia arus dari seluruh alam adalah napas sebenarnya itu adalah satu napas tetapi sekaligus banyak napas.
Sumber energi sebenarnya adalah kerangka getaran yang di seputarnya terbentuk badan fisik. Dalam teori Jenny tentang partikel besi lemah, tiba-tiba hidup dan mengatur diri menjadi pola orsinil ketika nada berneda yang bergetar menjadi bidang logam tempat mereka istirahat. Artinya jenis musik dengan nada gembira mampu mempersatukan partikel-partikel besi lemah tersebut menjadi bentuk indah yang tertata rapi.
Demikian pula, setiap jenis musik akan mempengaruhi sekitar kehidupan dan dinamika yang didekatnya sehingga membentuk sesuatu karena pengaruh getaran nada dan gelombang musik tersebut.

Musik dapat bernilai karena termasuk seni yang mampu membangun keselarasan, keseimbangan dan keindahan peradaban manusia, dan mengapa seni musik disebut sebagai seni surgawi, sementara seni yang lain tidak disebut seperti itu? Yang jelas melihat Tuhan ada dalam semua jenis kesenian dan ilmu pengetahuan. Namun, hanya seorang musisi sufistik saja yang, mampu melihat Tuhan bebas dari segala bentuk dan pemikiran.
Dalam tiap kesenian yang lain terdapat nilai pengidolaan. Setiap pemikiran, setiap kata, memiliki bentuk nilai. Setiap kata dalam bentuk puisi membentuk sebuah gambar dalam pikiran, dan gambaran itu adalah nilai itu sendiri. Musik, tak lebih kecil nilai-nya dari gambaran Sang Kekasih, karena musik adalah gambaran Sang Kekasih. Maka jika seseorang menyukai musik karena ia mencintai Sang Kekasih itu, sekarang apakah Kekasih? Atau di mana Kekasih itu? Kekasih adalah yang menjadi sumber nilai dan tujuan kita. Apa yang kita lihat dari Kekasih di depan mata ragawi kita adalah keindahan yang ada di depan kita. Bagian dari Kekasih kita yang tidak berujud dalam mata kita adalah bentuk batiniah dari keindahan nilai yang diwahyukan Sang Kekasih kepada kita melalui Nabi Saw.
Oleh karenanya, karena keterbatasan manusia, ia tidak akan mampu melihat wujud Tuhan secara ragawi di dunia fana ini, jika ingin melihat Tuhan di dunia ini lihatlah Ia dalam bentuk kreasi-Nya dan seluruh ciptaan-Nya, sebab segala yang dicintai di dalam warna, baris dan bentuk, atau kepribadian segala yang dicintai dan bernilai adalah milik dari Keindahan sejati yang merupakan Kekasih seluruh makhluk. (Khan, 1996: 3-4).
Ketika menelusuri sesuatu yang menarik dalam keindahan ini, yang dilihat dalam semua bentuk, maka akan diketahui, bahwa ini adalah gerak keindahan yang menggambarkan betapa agungnya nilai musik itu. Segala bentuk sifat, bunga-bunga yang dibentuk dan diwarnai begitu sempurna, planet, bintang, bumi semuanya memberikan gagasan tentang keselarasan, tentang nilai musik.
Bila nilai musik diikuti dan dijiwai oleh para seniman musik (musisi), maka tidak diperlukan lagi nilai eksternal, suatu hari musik akan menjadi sarana mengekspresikan agama universal, walaupun memerlukan waktu, dan suatu ketika akan muncul bahwa musik dan falsafahnya menjadi agama manusia, sebagai konstatasi nilai efikasi musical terhadap pembinaan kepribadian sufistik/religi setiap insan.
Pengertian tentang nilai musik, menunjukkan bahwa musik berada pada kedalaman eksistensi manusia. Musik ada di balik karya seluruh alam semesta. Nilai musik bukan hanya objek terbesar kehidupan, namun juga kehidupan itu sendiri. (Khan, 1996: 15).

Seni sastra termasuk ke dalam jejak tertulis, jejak material yang dapat dipahami informasinya lewat media bahasa. Kemajuan teknik dapat mendatangkan kemudahan dalam menghadapinya. Sastra, baik yang tertulis maupun lisan, yang memberikan keterangan tentang masa lampau berupa informasi kepoada kita pantas disebut sebagai bahan-bahan dokumenter bagi studi sejarah. Sebagai bahan-bahan dokumenter, sastra memiliki kekhasan, ia bersifat naratif dan karenanya dapat dikategorikan sebagai accepted history; contohnya adalah babad, hikayat, sejarah (dalam arti klasik), tambo, dan kalau di Barat kronik dan annales (Soeroto, 1980:4). Sedangkan nilai sastra itu ada pada karya penciptaannya, berpengaruh atau tidaknya sebuah karya sastra terhadap perkembangan moralitas, etika kemanusiaan dan lain-lain.
Untuk dapat menilai karya sastra haruslah diketahui norma-norma karya sastra. Sebab itu, kita tidak bisa meninggalkan pekerjaan mengurai atau menganalisis karya sastra. Setelah itu, kita hubungkan dengan penilaian kepad tiap-tiap lapis norma karya sastra dan kita kumpulkan kembali, yaitu memberi nilai secara keseluruhan kepada karya sastra itu berdasarkan nilai-nilai yang terdapat pada lapis-lapis norma itu yang berkaitan secara erat. Jadi, secara keseluruhan, nilai yang kita berikan sampai pada kesimpulan bahwa karya sastra itu bernilai tinggi atau kurang bernilai berdasarkan kualitas isi dari karya sastra itu, maka akan lahirlah nilai-nilai sastra qualified.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates