Minggu, 30 Desember 2012

Fenomena Qasidah Modern



Fenomena Qasidah Modern

Setiap bulan suci Ramadhan, tidak mengherankan lagi begitu banyak album-album berlabel religius Islami dirilis oleh berbagai perusahaan rekaman. Ini merupakan fenomena yang berkembang sejak dasawarsa 1970-an. Artis maupun kelompok musik yang sesungguhnya menapak di jalur musik pop, melakukan terobosan dengan merilis album bertajuk Qasidah Modern.
Mungkin masih melekat dalam ingatan bahwa pada paruh dasawarsa 70-an, tiba-tiba begitu banyak kelompok musik yang menjejali industri musik kita dengan musik ber-label qasidah modern. Ada Koes Plus (Tonny, Yon, Yok, dan Murry) dari label Remaco yang merilis album qasidah dengan sederet lagu seperti Nabi Terakhir, Ya Allah, Sejahtera dan Bahagia, Zaman Wis Akhir, Ikut Perintah-Nya, Karena Ilahi, atau Kesyukuran yang Suci. Kelompok rock asal Surabaya AKA yang didukung Utjok Harahap, Arthur Kaunang, Soenatha Tandjung, dan Syech Abidin, di perusahaan rekaman yang sama pun mengeluarkan album bertema qasidah modern.
Uniknya, baik Koes Plus maupun AKA dan beberapa personelnya seperti Yon Koeswoyo (Koes Plus), Soenatha Tandjung, dan Arthur Kaunang (AKA) justru bukan penganut Islam. Lalu Bimbo pun tak ketinggalan merilis album qasidah modern dengan lagu-lagu, seperti Rindu Kami pada-Mu, Qasidah Matahari dan Rembulan, Dikaulah Tuhan Terindah, hingga Anak Bertanya pada Bapaknya. Menariknya dalam penulisan lirik lagu, Bimbo menjalin kolaborasi dengan penyair Muslim, Taufiq Ismail. Selain itu, Bimbo yang didukung Sam, Acil, Jaka, dan Iin Parlina, juga memperoleh kontribusi penulisan lirik dari K.H. Miftah Faridl, E.Z Muttaqien, Endang Sjaifuddin Anshari, dan banyak lagi.
Tak semuanya menuai sukses. Itu patut diakui. Namun, dari pergulatan yang kompetitif, mencuat salah satu di antaranya adalah kelompok Bimbo asal Bandung Jawa Barat, yang kemudian berlanjut hingga sekarang ini. Bahkan, Bimbo yang tahun ini genap berusia 40 tahun, memperoleh predikat sebagai kelompok musik religius.
Penggagas
Lalu siapakah sesungguhnya yang menggagas munculnya terminology qasidah modern dalam industri musik (pop) Indonesia? Dalam catatan, ada pemusik bernama Agus Sunaryo yang memimpin kelompok musik Bintang-bintang Ilahi berupaya memasukkan unsur qasidah modern dalam musik yang mengiringi qasidah. Instrumen combo band mulai dilibatkan di dalamnya, seperti keyboard, gitar elektrik, dan bass elektrik.
Tersebutlah Rofiqoh Darto Wahab, penyanyi qasidah yang telah mencuri perhatian ketika tampil dengan qasidah modern pada sebuah acara keagamaan yang berlangsung di kota kelahirannya, Pekalongan, pada tahun 1964. Lalu ada kelompok qasidah wanita yang bermain dengan setumpuk instrumen band bernama Nasyidah Ria, yang antara lain memopulerkan lagu Perdamaian, lagu yang kemudian dibawakan dalam versi rock oleh kelompok Gigi. Artis lainnya yang mencoba berqasidah modern, antara lain penyanyi Fenty Effendy serta Djamain Sisters yang didukung Rien Djamain.
Pro dan kontra perihal qasidah modern pun menyembur. Mochtar Luthfy El Anshary, salah seorang ahli musik qasidah, yang pernah memimpin Orkes Gambus Al Wardah dan Hasan Alaydrus dari Orkes Gambus Al Wathan, menilai bahwa apa yang dilakukan oleh Agus Sunaryo dengan embel-embel qasidah modern sebetulnya tak bermuatan anasir modernisasi qasidah. ”Saya hanya melihat musik band yang pop telah dipaksakan dengan syair-syair lama,” kata Alaydrus, seperti yang ditulis majalah Tempo edisi 37/IV/16/ 22 November 1974.
Mochtar Luthfy El Anshary berpendapat, ”Pantun-pantun bahasa Arab itu diletakkan dalam irama yang tidak tepat.” Namun, niat untuk ‘memodernisasi’ qasidah tiada pernah berhenti. Dari tahun ke tahun pergeseran telah terlihat dengan nyata. Saat itu, pada tahun 1974, Koes Plus yang menoreh kontroversi, karena juga merilis album Natal, menyanyikan syair religius dengan menggunakan bahasa Jawa pada lagu bertajuk Zaman Wis Akhir.
Bimbo sendiri banyak mengadopsi musik Flamenco dalam racikan musik qasidahannya. Dan, Bimbo bahkan telah mencoba melepaskan diri dari pakem qasidah yang berbasis bahasa Arab. ”Kami menggunakan syair berbahasa Indonesia,” ujar Samsudin Hardjakusumah atau lebih dikenal dengan Sam Bimbo.
Keragaman
Saat ini keragaman musik religius sangat terasa. Ada yang menyelusupkan pengaruh musik R&B (rhythm and blues), seperti yang dilakukan oleh kelompok Shaka hingga Nawaitu Project. Kelompok Gigi bahkan seolah meneruskan apa yang pernah dilakukan oleh kelompok rock, AKA, pada tahun 1975, memasukkan anasir musik rock yang dinamis dan sarat gegap gempita.
Debby Nasution dari Gank Pegangsaan dalam album solo religiusnya malah memasukkan repertoar klasik milik Johann Sebastian Bach. Ada pula yang membaurkannya dalam musik jazz, seperti album Sound of Beliefe. Gito Rollies mendaur ulang dua hit dari The Rollies yakni Hari Hari dan Kau yang Kusayang, tetapi dengan lirik yang telah mengalami perubahan, dari tema hedonistic materialistic menjadi kontemplasi religi.
Hingga saat ini, sudah tak terhitung lagi jumlah album religius yang beredar di tengah masyarakat. Opick, seorang pemusik rock yang gagal dalam karier musik rocknya, malah menemukan jati diri musikal yang sesungguhnya pada musik religius.

Pengertian Qasidah



Pengertian Qasidah

Pengertian qasidah yang terdapat dalam khazanah kesusasteraan Indonesia mirip dengan kasidah yang ada dalam sastra Arab. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dikatakan bahwa kasidah merupakan “bentuk puisi, berasal dari kesusateraan Arab, bersifat pujian (satire, keagamaan), biasanya dinyanyikan (dilagukan)” (Tim Penyusun Kamus, 1988:493). Meskipun demikian, istilah tersebut berbeda dengan istilah yang sama yang terdapat dalam ungkapan “lagu kasidah” yang umumnya berbahasa Indonesia.
Istilah kasidah menurut Ma’luf dan Cowan dalam Syihabuddin (1997:16) berasal dari kata qasada yang salah satu bentuk infinitifnya ialah qasid atau qasidah dan berarti ‘dimaksudkan’, ‘disengaja’, dan ‘ditujukan kepada sesuatu’. Al-Hasyimi (t.t) dalam Syihabuddin (1997:16) mengungkapkan bahwa qasidah ialah syair yang larik-larik baitnya sempurna. Sebuah sya’ir disebut kasidah karena kesempurnaannya dan kesahihan wazannya, karena pengungkapnya menjadikannya sebagia hiburan, menghiasinya dengan kata-kata yang baik dan terpilih; karena kasidah itu diungkapkan dari hatinya dan perasaannya, bukan dari penalarannya semata.
Sementara itu Nicholson (1962:76-77) menegaskan bahwa pengertian kasidah itu berpusat pada masalah bentuk struktur, persajakan akhir, dan jumlah baitnya. Yang mirip dengan Nicholson di atas ialah pendapat Houtsma (1927:952) yang mengatakan bahwa kasidah merupakan sebuah istilah yang menunjukkan suatu jenis sya’ir yang sangat panjang. Kata kasidah itu sendiri menunjukkan kepada fungsinya, yaitu ditujukkan untuk memuji (“madaha”) kabilahnya atau seseorang, sehingga si penyair beroleh suatu hadiah, atau dimaksudkan untuk mencela suatu kabilah atau seseorang yang dibencinya.
Selanjutnya Houtsma dalam Syihabuddin (1997:17) menegaskan bahwa sebuah kasidah memiliki struktur penceritaan tertentu. Yaitu ia diawali dengan unsur “nasib” atau “gazal” (kerinduan kepada kekasih, kampung halaman, atau berupa percintaan). Setelah itu dilanjutkan kepada unsur kedua berupa gambaran petualangannya dan perjalanannya tatkala pergi menuju kekasihnya dan kampung halamannya. Pada bagian inilah biasanya si penyair menggambarkan kehebatan kudanya, untanya, keganasan padang pasir, dan keberaniannya dalam menghadang bintang buas. Kemudian unsur kedua ini diikuti unsur ketiga berupa inti kasidahnya, yaitu memuji atau mencela seseorang atau suatu kabilah. Kemudian kasidahnya ditutup dengan ajaran-ajaran moral.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, kasidah tidak lagi memegang seluruh konvensi di atas. Di antara konvensi yang ditinggalkannya ialah struktur penceritaan kasidah. Dan sebagian penyair pun menggunakan konvensi secara lebih longgar. Hal ini terjadi pada perkembangan syair periode modern.
Dengan demikian, dapatlah ditegaskan bahwa kasidah sebelum periode modern merupakan syair panjang yang terikat oleh konvensi ‘arudl, bersifat madah (ode) atau hija’ (satire), dan memiliki struktur penceriataan yang terdiri atas tiga unsur sehingga menjadikannya panjang. Dewasa ini konvensi tersebut tidak lagi dipegang seketat pada periode sebelum modern.

Menurut Djohan (2006:43-44), kedekatan suara dengan keseharian manusia kemudian membuka peluang untuk melihat suara dari berbagai sudut pandang yang lain. Dari kacamata psikologi misalnya, pemahaman seseorang mengenai suara sangat tergantung pada bagaimana persepsi orang tersebut terhadap apa yang ia dengar. Persepsi ini dipengaruhi pengalaman musikal dan pengalaman sosial budaya. Sebagai contoh seorang tentara akan terbiasa dengan letusan senjata karena merupakan bagian dari latihan sehari-hari, namun bagi masyarakat awam, bunyi letusan senjata dapat dengan segera memicu ketakutan akan terjadinya suatu hal yang buruk. Pemahaman terhadap suara dan musik juga sangat dipengaruhi faktor budaya. Masyarakat Barat akan segera mempersepsikan nada-nada gamelan yang pentatonik sebagai “musik Timur” dan sebaliknya seorang pengrawit yang mendengar repertoar musik klasik akan segera menganalogikannya dengan “musik Barat”. Selain itu, setiap budaya pada umumnya juga memiliki jenis musik yang khas. Pemahaman tentang aspek psikobiologis suara berawal dengan pengertian bahwa perubahan getaran udara sebenarnya adalah musik. Jauh sebelum pembentukan ontogenetik dan filogenetik suara musik, fenomena akustik yang ditemukan sudah merupakan nilai-nilai terapi musik. Fenomena akustik ini membuat orang dapat menghargai dan menentukan kembali suara eksternal serta menerjemahkan suara tersebut ke dalam bahasa musik. Akustik, suara, vibrasi, dan fenomena motorik sudah sejak ovum dibuahi oleh sperma untuk membentuk manusia baru. Pada saat itu terdapat berbagai proses yang melingkupi telur dalam kandungan, berproduksi dengan gerakan dinamis, mempunyai vibrasi, dan memiliki suara tersendiri. Misalnya, bunyi yang dihasilkan oleh dinding rahim, urat nadi, aliran darah yang mengalir bisikan suara ibu, suara dan desah nafas, mekanisme gerakan dan gesekan tubuh bagian dalam, gerakan otot, proses kimiawi dan enzim, serta banyak lainnya. Semua ini dapat dikelompokkan sebagai sebuah kesempurnaan suara.
Montello ((2004:41) menghubungkan jenis musik dengan aspek kecerdasan musik manusia, pertama, adalah musik badan, menurut ilmu pengetahuan dan falsafah yoga, terdapat lima tingkat fungsional yang membentang di seluruh spektrum kesadaran manusia. Dari yang paling kasar sampai yang paling halus, kesadaran itu meliputi tingkat badan fisik, badan energi/napas, pikiran, intuisi/intelek, dan kebahagiaan. Selanjutnya jenis musik energi, dimana mempengaruhi kekuatan untuk hidup. Menurut Gurdjieff dalam Montello (2004:73); Waktu adalah napas, Dunia napas/energi menyediakan hubungan antara material badan yang lebih padat dan dunia pikiran yang lebih halus. Menurut Hazrat Inayat Khan (1983:201), seorang ahli sufi, napas adalah hasil dari arus [yang] mengalir tidak hanya lewat badan, tetapi juga lewat semua bidang keberadaan manusia arus dari seluruh alam adalah napas sebenarnya itu adalah satu napas tetapi sekaligus banyak napas.
Sumber energi sebenarnya adalah kerangka getaran yang di seputarnya terbentuk badan fisik. Dalam teori Jenny tentang partikel besi lemah, tiba-tiba hidup dan mengatur diri menjadi pola orsinil ketika nada berneda yang bergetar menjadi bidang logam tempat mereka istirahat. Artinya jenis musik dengan nada gembira mampu mempersatukan partikel-partikel besi lemah tersebut menjadi bentuk indah yang tertata rapi.
Demikian pula, setiap jenis musik akan mempengaruhi sekitar kehidupan dan dinamika yang didekatnya sehingga membentuk sesuatu karena pengaruh getaran nada dan gelombang musik tersebut.

Musik dapat bernilai karena termasuk seni yang mampu membangun keselarasan, keseimbangan dan keindahan peradaban manusia, dan mengapa seni musik disebut sebagai seni surgawi, sementara seni yang lain tidak disebut seperti itu? Yang jelas melihat Tuhan ada dalam semua jenis kesenian dan ilmu pengetahuan. Namun, hanya seorang musisi sufistik saja yang, mampu melihat Tuhan bebas dari segala bentuk dan pemikiran.
Dalam tiap kesenian yang lain terdapat nilai pengidolaan. Setiap pemikiran, setiap kata, memiliki bentuk nilai. Setiap kata dalam bentuk puisi membentuk sebuah gambar dalam pikiran, dan gambaran itu adalah nilai itu sendiri. Musik, tak lebih kecil nilai-nya dari gambaran Sang Kekasih, karena musik adalah gambaran Sang Kekasih. Maka jika seseorang menyukai musik karena ia mencintai Sang Kekasih itu, sekarang apakah Kekasih? Atau di mana Kekasih itu? Kekasih adalah yang menjadi sumber nilai dan tujuan kita. Apa yang kita lihat dari Kekasih di depan mata ragawi kita adalah keindahan yang ada di depan kita. Bagian dari Kekasih kita yang tidak berujud dalam mata kita adalah bentuk batiniah dari keindahan nilai yang diwahyukan Sang Kekasih kepada kita melalui Nabi Saw.
Oleh karenanya, karena keterbatasan manusia, ia tidak akan mampu melihat wujud Tuhan secara ragawi di dunia fana ini, jika ingin melihat Tuhan di dunia ini lihatlah Ia dalam bentuk kreasi-Nya dan seluruh ciptaan-Nya, sebab segala yang dicintai di dalam warna, baris dan bentuk, atau kepribadian segala yang dicintai dan bernilai adalah milik dari Keindahan sejati yang merupakan Kekasih seluruh makhluk. (Khan, 1996: 3-4).
Ketika menelusuri sesuatu yang menarik dalam keindahan ini, yang dilihat dalam semua bentuk, maka akan diketahui, bahwa ini adalah gerak keindahan yang menggambarkan betapa agungnya nilai musik itu. Segala bentuk sifat, bunga-bunga yang dibentuk dan diwarnai begitu sempurna, planet, bintang, bumi semuanya memberikan gagasan tentang keselarasan, tentang nilai musik.
Bila nilai musik diikuti dan dijiwai oleh para seniman musik (musisi), maka tidak diperlukan lagi nilai eksternal, suatu hari musik akan menjadi sarana mengekspresikan agama universal, walaupun memerlukan waktu, dan suatu ketika akan muncul bahwa musik dan falsafahnya menjadi agama manusia, sebagai konstatasi nilai efikasi musical terhadap pembinaan kepribadian sufistik/religi setiap insan.
Pengertian tentang nilai musik, menunjukkan bahwa musik berada pada kedalaman eksistensi manusia. Musik ada di balik karya seluruh alam semesta. Nilai musik bukan hanya objek terbesar kehidupan, namun juga kehidupan itu sendiri. (Khan, 1996: 15).

Seni sastra termasuk ke dalam jejak tertulis, jejak material yang dapat dipahami informasinya lewat media bahasa. Kemajuan teknik dapat mendatangkan kemudahan dalam menghadapinya. Sastra, baik yang tertulis maupun lisan, yang memberikan keterangan tentang masa lampau berupa informasi kepoada kita pantas disebut sebagai bahan-bahan dokumenter bagi studi sejarah. Sebagai bahan-bahan dokumenter, sastra memiliki kekhasan, ia bersifat naratif dan karenanya dapat dikategorikan sebagai accepted history; contohnya adalah babad, hikayat, sejarah (dalam arti klasik), tambo, dan kalau di Barat kronik dan annales (Soeroto, 1980:4). Sedangkan nilai sastra itu ada pada karya penciptaannya, berpengaruh atau tidaknya sebuah karya sastra terhadap perkembangan moralitas, etika kemanusiaan dan lain-lain.
Untuk dapat menilai karya sastra haruslah diketahui norma-norma karya sastra. Sebab itu, kita tidak bisa meninggalkan pekerjaan mengurai atau menganalisis karya sastra. Setelah itu, kita hubungkan dengan penilaian kepad tiap-tiap lapis norma karya sastra dan kita kumpulkan kembali, yaitu memberi nilai secara keseluruhan kepada karya sastra itu berdasarkan nilai-nilai yang terdapat pada lapis-lapis norma itu yang berkaitan secara erat. Jadi, secara keseluruhan, nilai yang kita berikan sampai pada kesimpulan bahwa karya sastra itu bernilai tinggi atau kurang bernilai berdasarkan kualitas isi dari karya sastra itu, maka akan lahirlah nilai-nilai sastra qualified.

Internalisasi Nilai-nilai Sufistik Melalui Qasidah Burdah

Internalisasi Nilai-nilai Sufistik Melalui Qasidah Burdah

Qasidah Burdah
Salah satu dari kecerdasan majemuk menurut (Gardner, 1999b) yaitu kecerdasan musikal, yakni kemampuan menangani bentuk-bentuk musikal, dengan cara mempersepsi dan mengapresiasi (misalnya, sebagai penikmat musik), membedakan (misalnya, sebagai kritikus musik), menggubah (misalnya, sebagai komposer), dan mengekspresikan (misalnya, sebagai penyanyi). Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada irama, pola titinada atau melodi dan warna nada atau warna suara suatu lagu.
Inti dari kecerdasan musikal adalah pusat pendengaran (hearing) yakni telinga, sebab dari telingalah setiap bunyi-bunyian direspons dengan baik lalu masuk ke otak, dan dari sana akan menyalurkannya ke seluruh jaringan saraf, sehingga kecerdasan musikal akan bangkit dan membangunkan setiap energi yang terdapat dalam diri seseorang. Efek positif akan dirasakan saat semua jaringan saraf teraliri gerak musikal melalui suara, atau bunyi-bunyian tersebut. Dalam diri manusia ada yang dinamakan auditory area, yakni pusat pendengaran tempat bermuaranya getaran-getaran saraf yang datang dari dua telinga (Alfarisi, 2005: 349). Jadi, pendengaran (hearing) adalah stimulus utama dalam kecerdasan musikal seseorang. Dengan alat pendengaran inilah seseorang mampu merespons setiap suara musikal yang dapat membina kepribadian seseorang. Dengan kata lain, proses impulsif melalui telinga akan membuat kesan ‘terngiang-ngiang’. Dari sanalah sebuah proses pembentukan kepribadian lewat getaran musikalitas yang diserap oleh si pendengar tadi.
Teori Place dalam Djohan (2005: 102) tentang persepsi pitch (pola titinada) melalui beberapa bukti fisiologis menunjukkan tempat terjadinya stimulasi di bagian dalam telinga. Ekstraksi dari pitch yang terpisah tidak ditunjukkan melalui penyortiran frekuensi yang berbeda pada tempat yang berbeda di dalam cochlea, yakni tempat lain dalam system saraf. Gelombang suara dengan kecepatan yang bervariasi dalam tekanan udara, mendorong gendang telinga ke luar dan ke dalam. Vibrasi dari gendang telinga ditransmisikan ke telinga bagian dalam oleh beberapa pengungkit yang terbuat dari tulang, yaitu ossicle dari bagian tengah telinga.
Cochlea adalah semacam pedar spiral yang dipenuhi oleh kelenjar getah dan terbagi oleh membran basiliar yang terstruktur. Ini merupakan cochlea di mana gelombang suara dikonversikan ke dalam impuls-impuls saraf. Sekali berada di dalam cochlea, gelombang suara berjalan sepanjang partisi yang terpisah sampai ke bagian tengah telinga.
Gelombang suara berjalan dari jendela oval menuju membran basiliar ke helicotrema di mana gelombang suara itu diserap. Setelah berjalan ke bawah, gelombang suara menggetarkan membran basiliar tempat serabut sensistif yang distimulasi oleh vibrasi tersebut. Pola bangkitnya sel-sel rambut akan diterjemahkan dengan bangkitnya saraf-saraf sebagai bentuk dasar dari sensasi manusia terhadap suara.
Menurut analisa Fourier (1992) dalam Djohan (2005: 42) gelombang suara yang masuk serta memisahkan komponen gelombang sinus ke tempat stimulasi yang berbeda pada membran basiliar, tergantung frekuensinya, membran tersebut terdiri dari serangkaian serabut yang berfungsi seperti serangkaian senar pada piano. Serabut yang panjang dekat
helicotrema meresonansi nada rendah dan serabut yang lebih pendek meresonansi nada-nada tinggi.
Vibrasi pada membran basiliar dekat dengan apa yang disebut kelembaban kritis. Berarti, vibrasi akan semakin keras setelah stimulasi berhenti. Tetapi kelembaban ini menimbulkan masalah bagi mekanisme persepsi pitch. Seperti halnya analogi pada pegas-massa sesuai analogi fisika.
Dengan demikian, sebagaimana yang dikemukakan Carrel (1997:125) “manusia adalah makhluk misterius”. Dengan segala ‘kemisteriusan’ nya ia memiliki berbagai kecerdasan diantaranya adalah kecerdasan musik. Hal tersebut sangat penting untuk dikaji dan diteliti.
Menurut Blacking (1995: 224) dalam Djohan (2005: 26) musik dianggap sebagai perilaku manusia, juga perilaku social yang kompleks dan universal. Setiap masyarakat memiliki apa yang disebut dengan musik, dan setiap anggota masyarakatnya adalah musikal. Seandainya benar, dalam budaya Barat terdapat perbedaan tajam antar siapa yang “memproduksi” musik dan siapa yang secara mayoritas “mengkonsumsi”-nya. Tetapi kenyataannya hampir semua golongan mayoritas dapat “mengkonsumsi” musik, mendengar, menarikan dan mengembangkannya. Sehingga ada kesan bahkan mayoritas diam pun adalah masyarakat yang musikal dalam kapasistas memahami musik.
Goleman & Gurin berpendapat dalam (Djohan, 2006 : 43) bahwa: serabut saraf dalam setiap tubuh manusia berisi sistem immun, yang menyediakan komunikasi biologis antara
saraf ujung terakhir dengan sistem immun. Juga disebutkan terdapat hubungan antara pikiran seseorang dan sikap, persepsi, emosi, dan kesehatan sistem immun tersebut. Sehingga kita memiliki kemampuan menjadi proaktif terhadap kesehatan tubuh dan pikiran. Musik adalah pulsa dari energi sebagai rangkaian lalu-lalang segala sesuatu melalui vibrasi.
Dengan adanya kekuatan musik yang halus ini, penulis mencoba mengkaji untuk diterapkan kepada orang lain, yaitu sebuah terapi musikal bagi pikiran dan batin. Di samping musik-musik yang berkembang saat ini, musik sufistik ini bias menjadi media penyeimbang di tengah disonansi musik yang bersifat entertainment..
Qasidah Burdah, dipandang sebuah studi tentang pendidikan nilai-nilai keagamaan yang terangkum dalam bentuk syair (puisi) Arab dan dilagukan dengan irama musikalitas melankolik-sikronik. Pendekatan ini adalah salah satu dari pendidikan dan pembinaan kepribadian religi terhadap klien, agar lebih cepat memahami serta mempraktekkan apa yang terkandung dari muatan pesan-pesan keagamaan di dalamnya, sehingga klien merasa tergugah secara terarah (gerechtigkeit) terutama dalam hal perubahan jiwanya, terlebih dalam mengapresiasi jiwa seninya.
Strategi berikutnya dalam melaksanakan pendidikan nilai melalui Qasidah Burdah sebagai pembinaan mental kepribadian religi melalui musik. Ini merupakan upaya penanaman pendidikan mentalitas dalam rangka memberikan pemahaman sikap keberagamaan dan perkembangan serta pertumbuhan seseorang. Selain bersifat pencegahan dari sifat-sifat buruk. Qasidah Burdah dapat pula bersifat penyembuhan. Teknik penyembuhan jiwa yang sedang galau, resah dan depresi, penulis mencoba mempraktekkan musikalitas syair-syair keagamaan dari kitab Islam klasik bernama Qashidah al-Burdah (Qasidah Burdah) karya Imam al-Bushiry.
Orientasi pergelaran musik secara umum seringkali dilaksanakan secara bebas nilai (values free) yaitu pergelaran musik yang cenderung menampilkan hal-hal yang bersifat hiburan semata-mata (entertainment) atau, lebih tepatnya lagi, cenderung pada pergelaran musik hura-hura (pell-mell music).
Pergelaran demikian terkadang menelan korban hingga pada kematian. Sebagai contoh sebagaimana baru-baru ini dilansir oleh Harian Umum Pikiran Rakyat, dan Tribun Jabar 10 Februari 2008, sedikitnya 11 orang tewas dan empat lainnya luka-luka dalam konser dan peluncuran album kelompok beraliran metal-core Beside band di Gedung Asia Africa
Cultural Centre (AACC), Jln. Braga Kota Bandung, Sabtu (9/2) malam.
Fenomena di atas menggambarkan betapa kacaunya suasana pergelaran musik-musik penghibur tersebut, mulai dari persiapan panitia yang kurang bertanggungjawab, terkesan asal-asalan, kurang profesional, tidak memperhitungkan kondisi kapasitas tempat, keamanan dan kenyamanan bagi para penonton, di samping ulah serta sikap para penonton sendiri tidak bisa tertib atau disiplin bahkan cenderung anarkis dan berlebihan. Menurut berita, kejadian konser musik metal-core (underground music), setiap penonton yang masuk diberi semacam minuman keras memabukkan sebagai syarat menikmati konser musik “underground” tersebut.
Tragedi semacam itu sangat sering terjadi di dunia pergelaran/konser musik Indonesia. Persoalannya sekarang adalah sejauhmana insan-insan terkait bisa mempertanggung jawabkan peristiwa yang mencoreng dunia musik bangsa ini. Oleh karena itu sebagai langkah penyeimbang (balance) bahwa internalisasi nilai-nilai sufistik melalui Qasidah Burdah dipandang perlu untuk dikenalkan ke dalam wilayah pola pembinaan kepribadian religi.
Menurut analisa penulis karya-karya baru bagi para musisi Barat adalah sebuah kemestian, siapa yang mampu bekerja keras dan dinamis bila orientasinya memasuki alur bisnis musik, maka akan dapat menghasilkan karya-karya orisinal dan monumental sekaligus juga finansial.
Akan tetapi, profil musisi bagi para sufi sama sekali tidak ada orientasi bisnis karena perbedaan tujuan. Tipe pertama, lebih mengandalkan produk (industri) musik daripada proses bagaimana memainkan musik sebagai sebuah jalan, media atau washilah untuk membina nilai kepribadian religi, mapan dan militan. Sedangkan, untuk tipe kedua, ingin
menjelaskan kepada segenap manusia bahwa musik bukan hanya sekedar media hiburan semata, namun, lebih luas dari itu dapat menjadi pembentuk perilaku positif. Sebagai perbandingan, tipe pertama hanya mampu melahirkan entertainment music atau musik hiburan, tipe kedua melahirkan therapy music yaitu musik terapi.
Dilihat dari konsepsi yang berbeda tersebut, maka keberadaan musisi di tengah msayarakat global saat ini, bisa saja menjadi produsen bisnis musik yang berhasil mengangkat blantika musik di tanah air, apapun jenis atau aliran musik tersebut, yang penting tujuan bisnisnya laris di pasaran. Sementara untuk musik terapi, dan religi bisa tetap eksis dalam upaya penyembuhan masyarakat yang sedang galau akibat keberadaan situasi di Tanah Air yang kian tak menentu ini.
Dari sudut pandang manfaat seni musik, pertama kali menurut psikologi seni memiliki arti luas, yaitu menunjukkan setiap cara yang sesuai untuk mengekspresikan diri, berupa tindakan atau sikap yang menyampaikan pada taraf kelengkapan dan kejernihan tertentu dari balik mental, ide dan emosi. Seni membantu mengidentifikasi “siapa kita” dan “apa potensi kita”. Menurut Nancy King dalam Djohan (2005:141) manfaat seni adalah sebagai alat untuk mewujudkan perasaan-perasaan dan memberikan pelayanan tanpa khawatir memikirkan aturan-aturannya. Seseorang yang memperoleh kesempatan dan rangsangan dari salah satu cabang kesenian, memiliki kesempatan untuk mengembangkan dan menikmati kehidupan di hari tuanya. Manfaat lain dari mempelajari seni adalah membantu pembentukan komunikasi verbal dan nonverbal sehingga dapat mencapai usaha belajar yang optimal, karena seni memberikan kesempatan untuk berekspresi tanpa kata-kata saat tidak dapat diungkapan secara verbal. Selain bermanfaat dalam pengungkapan perasaan, ia juga menjadi kreator untuk mewujudkan diri secara keseluruhan (self actualization) sebagai salah satu kebutuhan pokok hidup manusia dalam teori kebutuhan Maslow.
Musik sendiri memiliki dimensi kreatif (al-janib al-ibtikary) dan memiliki bagian yang identik dengan proses belajar secara umum. Sebagai contoh, dalam musik terdapat analogi melalui persepsi, visual, auditori, antisipasi, pemikiran induktif-deduktif, memori, konsentrasi dan logika. Dalam musik juga dapat dibedakan serta dipelajari cepat-lambat, rendah-tinggi, keras-lembut yang berguna untuk melatih kepekaan stimuli lingkungan.
Selain itu juga manfaat musik berpengaruh sebagai alat untuk meningkatkan dan membantu perkembangan kemampuan pribadi dan sosial. Menurut Djohan (2005:142) perkembangan pribadi meliputi aspek kemampuan kognitif, penalaran, inteligensi, kerativitas, membaca, bahasa, sosial, perilaku dan interaksi sosial.
Keterampilan kognisi dapat ditingkatkan melalui kegiatan kreatif dan permainan musik ikut membantu pengembangan pengalaman kreatif tersebut. Aktivitas musik justru banyak melibatkan kegiatan yang mendorong terjadinya penciptaan-penciptaan.
Di negara-negara maju, musik telah dimanfaatkan untuk kepentingan umum dan bukan hanya pada kepentingan musik. Bank, dokter gigi, agen asuransi, rumah sakit, dan tempat-tempat yang berhubungan dengan orang banyak telah memanfaatkan musik untuk kepentingan tertentu. Wajar kalau negara tertinggal seperti Indonesia belum mampu untuk melihat prospek musik dari aspek manfaat. Musik masih difungsikan untuk sekedar hiburan, hura-hura, dan hal itu sudah menjadi tradisi kuno, kalau boleh dikatakan primitif. Tetapi bila sampai sekarang hanya sebatas itu pemanfaatannya berarti musik menjadi sangat sempit dan ini tercermin dari orang-orang yang menggelutinya.
Di Indonesia tradisi konser musik sufistik (al-sama’) masih terbilang langka, namun konser-konser musik yang lebih berorientasi kepada nilai-nilai hiburan yang bersifat materialistik lebih nampak di tengah glamournya industri musik tanah air. Pergelaran atau konser musik yang mengedepankan nilai perubahan karakter bangsa sudah saatnya digelar, sebagai langkah penyeimbang dari kondisi masyarakat hedonis materialistis mengarah kepada masyarakat yang tetap mempertahankan nilai-nilai religiusitas dan peradaban yang tinggi dari bangsa ini.
Tujuan filosofis dari fenomena tersebut di atas dikhawatirkan merusak tatanan nilai-nilai moralitas generasi muda sekarang ini membuat keresahan, dan melalui penelitian ini penulis berupaya menjadikan Qasidah Burdah sebagai media untuk menginternalisasikan pembinaan nilai-nilai sufistik, sangatlah mendesak untuk dikaji sebagai sebuah musik alternative sufistik yang mampu memotivasi perilaku seseorang.
Dengan demikian, pergelaran dalam dunia musik sufistik (al-sama’) secara filosofis adalah bertujuan mempraktikkan dan membangkitkan semangat (ghirah) kecintaan kepada Sang Pencipta Tuhan Semesta Alam. Pergelaran yang bersifat konser musik adalah salah satu sarana peneguhan keberadaan manusia, tawajud, sehingga mampu menyentuh perasaan yang dalam bukan sebaliknya menjadi hampa tak bermakna.
Qasidah Burdah, adalah model perpaduan musikalitas syair-syair yang terkandung sarat dengan nilai-nilai moral sufistik, membangkitkan gairah dan semangat juang batiniah seseorang, melalui paduan musikalitas syi’ir tersebut disentuh oleh instrumen yang menggambarkan perpaduan musikalitas soft blues country dengan alunan harmonika dan petikan dawai gitar serta sayup suara accordion yang menampilan ilustrasi esoteris diakronik menambah ghirah religiusitas insani.
Tahapan aransemen musikalisasi Qasidah Burdah dilakukan dengan cara kontemplasi bertahap mulai dari tingkat paling sederhana atau dasar (ibtida) sampai tingkat tinggi (ulya), sehingga diharapkan dalam proses internalisasinya mampu membangkitkan inherenitas (kelekatan) antara akal-fikiran, gerak hati dan nilai-nilai yang terkandung dalam musik tersebut.
Penelitian ini difokuskan untuk merumuskan pola pembinaan serta pendidikan nilai sufistik secara utuh dan operasional-praksis. Lalu akan dikaji dan diungkap secara sistematis sesuai dengan nilai-nilai pendidikan Islam melalui syair yang terdapat dalam kumpulan syair Qasidah al-Burdah, yang memiliki kandungan keindahan musikal, baik yang bersumber pada kebenaran (positif) maupun pada keburukan (negatif). Dari rumusan konsep tersebut selanjutnya dikaji secara teoretis inherenitasnya dengan wilayah pendidikan.
Maka dari sanalah akan dijelaskan pengembangan konsep pendidikan nilai-nilai dan gambaran ideal musik sufistik. Kemudian kejelasan-kejelasan operasional juga perlu diiringi dengan keterukuran proses edukasi. Pada proses ini akan memunculkan sejumlah komponen edukasi yang menyangkut landasan filosofis, materi, metode evaluasi, sarana dan prasarana serta daya dukung lingkungan. Sehingga penerapan pendidikan nilai melalui internalisasi Qasidah Burdah dapat memberikan pencerahan dan perubahan semangat keberagamaan di satu sisi, serta memberikan pengaruh positif pada sikap, perilaku dan kepribadian setiap manusia. Keberhasilan penerapan secara praksis pengembangan model pembinaan nilai kepribadian ini tergantung pada kesadaran (awareness) memaknai musik sufistik sebagai media pembinaan mental yang satu saat mampu membangun kepribadian religi.
Mengenai istilah musik memiliki pengertian yang beragam sejak zaman Yunani Kuno hingga kini. Skyjes (1978) mendefinisikan musik dalam Rachmawati (2005: 27) sebagai “art combining sound of voice (s) or instrument (s) to achieve beauty of form and expression of emotion…”.
Ada yang mendefinisikan musik sebagai organisasi bunyi dan diam dalam satuan waktu, intensitas dan tekstur tertentu. Lepas dari berbagai definisi tersebut, secara faktual-praksis dapat dengan mudah menganal musik dalam derajat keindahan yang bervariasi tergantung pada penilaian dan penilai yang berbeda. Kepentingan penelitian di sini bukan
untuk mencari definisi musik yang beragam, tetpai memahami pengaruh musik sufistik terhadap manusia untuk kemudian melihat peranan musik dalam peningkatan kualitas kepribadian dan hidup manusia.
Untuk itu, pemahaman tentang unsur-unsur internalisasi musik lebih diperlukan daripada pengertian seragam dari musik. Merujuk pada Mitchell dan Logan (2003), secara umum, unsur-unsur musik terdiri dari dinamika harmoni, alat musik, meter, melodi, ritme, tempo dan timbre (warna suara). Dinamika adalah istilah untuk tingkatan keras lembutnya suara
dalam musik. Harmoni merujuk pada dua pengertian (1) keselarasan nada dalam pembuatan akor (chord); dan (2) sistem keselarasan nada dalam akor yang mengatur alur akor dan bagaimana satu akor mengikuti akor yang lain. Alat musik atau instrument merupakan penentu warna dari musik atau instrument merupakan penentu warna musik yang dikelompokkan menjadi alat musik bersenar (digesek maupun dipetik), alat musik tiup kayu dan logam, serta alat musik perkusif. Meter adalah hasil dari efek periodik atau pengulangan getaran yang biasa disebut beat dalam musik. Melodi adalah serangkaian nada yang saling mengikuti satu sama lain yang diatur oleh satu prinsip dasar tertentu, membentuk satu ide abstrak yang dapat diingat. Ritme adalah penyusunan perangkaian panjang pendeknya nada yang jatuh tepat pada beat atau di antara beat yang dibentuk oleh meter. Tempo adalah kecepatan beat dalam musik yang diukur dari jumlah beat per menit. Terakhir, timbre adalah profil harmoni atau kualitas dari suatu sumber suara yang biasanya mempengaruhi mood dalam musik (Rachmawati, 2005: xxvi-xxvii).
Saat ini kita semakin merasakan perlunya pendidikan budi pekerti (perilaku yang baik) mendapatkan porsi yang lebih besar dalam sistem persekolahan. Hal ini terjadi di antaranya, disebabkan oleh fenomena ‘krisis moral’ yang semakin mencuat ke permukaan, merambah ke segenap lapisan masyarakat dari tingkat pejabat hingga rakyat.
Hal inilah yang menarik bagi peneliti sehingga permasalahan ini berkeinginan diangkat menjadi tema pembahasan, pendalaman yang nanti mengarah pada penelitian ilmiah sebagai media pembinaan nilai kepribadian religi, budi pekerti dan nilai jiwa kemanusiaan, sehingga suatu saat menjadi metode pendidikan dalam membentuk pola kepribadian dan nilai diri seseorang.
Dengan demikian, media pendidikan nilai sufistik melalui Qasidah Burdah dapat menduduki porsi utama dalam kehidupan masyarakat pembelajar, tidak hanya sebagai pembelajaran seni semata, namun diharapkan ia dapat menjadi salah satu media dan sumber yang dapat dioptimalkan sehingga menampakkan keutuhan nilai seni yang inheren pada jiwa masyarakat didik pada umumnya dan mampu membina budi pekerti manusia Indonesia.
Dengan demikian, bagaimana upaya mengatasi persoalan perilaku masyarakat saat ini, sehingga diperlukan suatu penelitian jenis musik yang dapat mencerahkan perilaku dan karakter. Qasidah Burdah salah satu langkah alternatif ke arah tersebut, dengan cara internalisasi nilai-nilai sufistik melalui Qasidah Burdah diharapkan mampu membina kepribadian religi. Adapun jenis musik yang dipandang inheren mampu membina kepribadian adalah musik yang memiliki sentuhan batin, mendamaikan dan membangkitkan motivasi si pendengarnya, dalam khazanah musik Islam disebut al-sama’ (konser musik sufistik).

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates